Review ini bersifat subjektif dan terdapat sedikit spoiler
I Want to Eat Your Pancreas atau Kimi no Suizou wo Tabetai adalah novel web yang terbit pada tahun 2014 dan pada tahun 2015 dicetak dalam bentuk fisik. Cerita karangan Sumino Yoru ini mendapatkan adaptasi live-action pada tahun 2017 dan yang terbaru diadaptasi menjadi anime layar lebar pada tahun 2018. Semua adaptasinya memiliki cerita yang sama, yaitu bercerita tentang seorang gadis SMA yang ingin menikmati sisa hidupnya yang tinggal sedikit karena penyakit pankreasnya bersama dengan seorang pemuda.
Aku menemukan sebuah buku di rumah sakit.
Judulnya Cerita Teman si Sakit.
Pemiliknya adalah Yamauchi Sakura, teman sekelasku.
Dari sana aku tahu dia menderita penyakit pankreas.
Buku itu adalah buku harian rahasia miliknya.
Namun gadis itu tidak seperti orang sakit.
Dia seenaknya sendiri, dia mempermainkan perasaanku, dia suka menggodaku.
Dan aku… mungkin dia menarik hatiku.
Melalui premis cerita yang disuguhkan oleh I Want to Eat Your Pancreas, saya sudah merasa ini akan menjadi cerita drama yang akan mencoba untuk menguras air mata para penontonnya. Benar saja, adegan pertama dari film ini langsung menyuguhkan kematian Yamauchi Sakura, sang tokoh utama. Setelah itu penonton akan diajak untuk melihat, bagaimana dia menghabiskan sisa hidupnya dengan tokoh utama laki-laki apatis yang sering dirujuk dengan Aku (Boku).
Cerita merupakan salah satu aspek penting dalam film ini. Ketika melihat premis cerita ini kalian akan mengira kalau film ini hanyalah drama murah yang mengharapkan penontonnya menangis. Argumen itu tidak sepenuhnya salah, namun tidak sepenuhnya benar juga. Sepanjang cerita para penonton akan diangkat dengan keseruan para karakter, bersenang-senang, hingga akhirnya dijatuhkan pada klimaks cerita.
Cerita pada film ini sangat padat, bahkan langsung masuk ke inti permasalahan dari awal. Bahkan dalam beberapa bagian, penggunaan cutscene dengan narasi untuk menunjukan berbagai kegiatan yang sedang dilakukan oleh tokoh utama tanpa membuang banyak waktu. Bagi para penikmat drama, cerita ini sangat cocok untuk menambah asupan drama kalian. Tetapi untuk penonton secara umum film ini bisa terasa membosankan karena ceritanya hanya berputar dalam keseharian dua tokoh utama.
Bagi yang menganggap cerita pada film ini akan berfokus di drama percintaan, kurangi ekspektasi kalian terhadap aspek yang satu ini. Film ini lebih mengarah pada tema drama kehidupan, karena sepanjang film ini fokus utamanya adalah hidup dari Yamauchi Sakura, yang dalam terus memikirkan sisa hidupnya yang tinggal sedikit.
Visual pada film ini sangat memanjakan mata dan menjadi hal paling bagus menurut saya dari film ini. Jangan berharap visual sekelas Kimi no Na Wa atau Koe no Katachi, namun visual yang terkadang terlihat sederhana ini bisa menjadi sangat indah ketika dibutuhkan dalam cerita. loundraw yang membuat desain orisinal karakter dari film ini juga melakukan pekerjaannya dengan sangat baik. Desain yang dibuat sesuai dengan karakter yang ada pada cerita. Saya sendiri merupakan penggemar ilustrasi dari loundraw, bagi yang ingin melihat karya-karyanya bisa menuju akun pixiv-nya atau mengikuti akun twitter miliknya.
Musik merupakan bagian penting dari sebuah film. Pada film ini ada tiga orang yang paling bertanggung jawab, yaitu Shouji Hata selaku sound director, Sebu Hiroko sebagai komposer, dan sumika yang membawakan lagu pembuka, lagu tema, dan lagu penutup. Shouji Hata yang memang sudah sering menjadi sound director untuk banyak anime bertema drama tidak perlu diragukan lagi. Sayangnya, lagu latar buatan Sebu Hiroko terasa kurang mengangkat suasana yang sudah dibangun oleh ceritanya. Fanfare, Himitsu dan Haru Natsu Aki Fuyu merupakan tiga lagu yang dibawakan sumika untuk film ini dan ketiga lagu ini (terutama Himitsu dan Haru Natsu Aki Fuyu) menambah keinginan saya untuk menangis ketika mendengarnya, apalagi Haru Natsu Aki Fuyu yang secara personal merupakan lagu favorit saya pada film ini.
Hal yang saya rasa kurang pada film ini adalah akhir dari cerita yang seperti memaksakan sebuah twist, yang akhirnya tetap membuat saya terkejut, namun di sisi yang kurang positif. Selain itu pembuatan animasi yang berbau fantasi di akhir juga terasa kurang pas dengan narasi yang sedang diceritakan oleh karakter. Kalian akan mengerti ketika sudah menontonnya.
Kesimpulannya, Film ini ibarat Roller Coaster yang membawa penontonnya naik turun sepanjang jalan, diputar-putar, hingga akhirnya dijatuhkan secara ekstrim di akhir film, dan diangkat lagi. Film garapan Shinichirou Ushijima adalah film yang sangat baik secara cerita, visual dan musik. Tidak ada kekurangan yang benar-benar signifikan untuk membuat kalian tidak menonton film yang satu ini. Bagi yang sudah membaca novelnya, menonton animenya akan memberikan sudut pandang yang berbeda, sedangkan bagi yang sudah menonton versi live-action, versi anime-nya akan memberikan visual-visual indah yang tidak ada pada versi live-action.
Terima kasih kepada pihak Moxienotion yang telah memberikan kesempatan untuk menghadiri premier film I Want to Eat Your Pancreas. Film ini mulai tayang di Indonesia pada 26 Desember 2018. Bagi yang ingin melihat bioskop yang menayangkan bisa melihat daftar di bawah atau langsung mengecek melalui website bioskop terdekat dan jangan membajak ya~
Artikel ini dibuat oleh ponyonyon