Saat masuk ke dalam kamar, buku-buku disusun dengan rapi dalam lemari kayu yang besar. Buku novel, cerpen, ensiklopedia, hingga komik tersusun rapi dengan sempurna. Beberapa buku khusus, seperti buku pengetahuan umum dipajang di lemari yang sangat khusus. Kamar serasa perpustakaan dalam rumah. Begitu ditanyakan kepada sang pemilik, ternyata banyak buku yang belum dibaca. Ia hanya mengumpulkan buku-buku ini karena terlihat menarik atau sedang populer.
Itulah tsundoku, seseorang yang hobi mengumpulkan buku namun jarang atau bahkan tidak membacanya. Tsundoku berasal dari Bahasa Jepang, tsunde yang artinya tumpuk dan doku artinya tumpuk. Agar lebih mudah penyebutannya, maka disebutlah tsundoku.
Sesuai dengan namanya, tsundoku berarti mengumpulkan buku dengan tujuan untuk sekadar menumpuknya atau ingin terlihat memiliki banyak buku di dalam Namun ada juga yang mengumpulkan bukunya karena buku tersebut terlihat menarik dan ingin dibaca olehnya, namun akhirnya buku tersebut tidak pernah dibaca. Tsundoku pada awalnya bukan suatu masalah. Seorang penulis, penerbit, dan pengoleksi buku asal Amerika Serikat, A. Edward Newton berkata bahwa orang yang mengumpulkan buku dalam jumlah banyak karena adanya perasaan nyaman bila bacaan mereka tidak habis. Namun akhirnya menjadi suatu masalah karena ternyata kebiasaan ini seperti ekstasi yang membuat orang menjadi kecanduan. Parahnya lagi ternyata buku yang dibeli ternyata tidak dibaca akibat banyaknya kegiatan lain atau perasaan tidak ingin membaca melanda. Alhasil buku tersebut hanya menjadi tumpukan.
Jadi, apakah menjadi seorang tsundoku itu baik? Bukankah tsundoku itu layaknya filateli atau kolektor barang antik?
Sebenarnya tsundoku memang terlihat seperti hobi mengumpulkan barang layaknya hobi-hobi yang lain. Tapi sebisa mungkin kurangilah kebiasaan ini. Memperlakukan buku seperti ini hanya menyia-nyiakan banyak kertas dan pohon. Buku menjadi tidak berguna karena tidak pernah dibaca oleh sang pemilik. Padahal banyak sekali informasi yang bisa kita dapatkan dengan membaca buku. Beruntung bila buku tersebut dicetak dalam jumlah yang banyak dan murah, masih ada kesempatan untuk membacanya. Bagaimana bila buku yang dikoleksi oleh si tsundoku adalah buku yang mahal dan langka? Tentu akan merugikan orang yang ingin membacanya namun tidak bisa karena buku tersebut hanya ditumpuk oleh si tsundoku.
Beberapa orang menyatakan bahwa tsundoku mirip atau bahkan sama dengan bibliomania. Benarkah?
Tsundoku berbeda loh dengan bibliomania. Sebenarnya mereka sama-sama mengumpulkan buku. Tapi tujuan mereka mengumpulkan buku berbeda loh. Tsundoku itu mengumpulkan buku hanya bertujuan untuk dikoleksi. Bahkan beberapa mengatakan mengumpulkan buku hanya untuk menjadi pajangan. Tapi bibliomania mengumpulkan buku sebagai wujud pelarian akibat buruknya hubungan dengan orang-orang. Dikatakan bahwa bibliomania adalah bentuk hubungan antara sang pemilik dengan buku. Biasanya orang dengan bibliomania merasa bahwa mereka memiliki bentuk hubungan layaknya teman atau semacamnya dengan buku yang mereka miliki.
Jadi itulah tsundoku, si penumpuk buku. Kamu merasa ada kebiasaan seperti itu tidak? Kalau iya, yuk selesaikan dulu buku yang kamu tumpuk. Setelah itu baru deh kalian bisa mengoleksi buku baru. Jadilah pengoleksi buku yang bijak!
Sumber: Atlas Obscura, Open Culture, BBC, Medium
Penulis: Zhe
Penyunting: ponyonyon