Hinamatsuri, Tradisi untuk Anak Perempuan di Jepang
Halo minna-san! Bagaimana kabarnya? Semoga minna-san dalam keadaan sehat semua ya... Pada artikel kali ini, kita akan membahas salah satu tradisi unik yang dilakukan setiap bulan Maret oleh warga Jepang. Tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman Jepang kuno hingga saat ini, yakni festival Hinamatsuri. Yuk, kita bahas lebih dalam tentang festival Hinamatsuri ini!
Festival Hinamatsuri atau festival boneka merupakan sebuah tradisi dimana anak perempuan di Jepang, didoakan diberi kesehatan dan keberuntungan oleh dewa. Festival Hinamatsuri ini sudah dilakukan sejak zaman Jepang kuno, yakni pada zaman Heian,yang kala itu orang-orang percaya dan berdoa kepada dewa untuk kesehatan serta keberuntungan bagi anak perempuan mereka. Hingga pada zaman Edo (1603-1868), tradisi ini diberi nama festival Hinamatsuri atau festival boneka dan selalu dirayakan setiap tanggal 3 Maret. Festival Hinamatsuri juga dirayakan tepat pada saat bunga persik bermekaran untuk pertama kalinya sehingga, festival Hinamatsuri juga sering disebut sebagai festival persik (Momo no Sekku).
Berdasarkan sejarah, sebenarnya festival Hinamatsuri ini berasal dari negara Tiongkok, namun ditiru oleh istana kekaisaran Jepang. Akhirnya, festival ini menyebar luas ke semua rakyat Jepang dan dijadikan sebagai festival tahunan. Pada zaman Jepang kuno, festival Hinamatsuri dirayakan dengan membuat boneka hitogata (boneka kertas) yang dipercaya dapat menangkal roh jahat, kemudian boneka hitogata ini dihanyutkan ke dalam sungai. Kegiatan meghanyutkan boneka hitogata ini dinamakan Nagashi-bina (boneka mengambang), kegiatan ini merupakan bentuk permohonan orang Jepang agar anak perempuan diberi keselamatan dan keberuntungan oleh dewa.
Pada zaman Edo, kegiatan Nagashi-bina ini diganti menjadi pemajangan boneka di altar rumah tangga khas Jepang menggunakan boneka hina-asobi (boneka mainan) yang didesain menggunakan pakaian keluarga kerjaan. Penggunaan boneka dengan desain keluarga kerajaan ini didasari pada kepercayaan masyarakat Jepang jika keluarga kerajaan dapat memberikan keberuntungan. Pemajangan boneka ini bermula dari putri Kaisar Go-Mizunoo yang memajang boneka kaisar dan permaisuri di atas dudukan, pemajangan boneka ini mewakili hierarki kerajaan. Sejak saat itu, boneka yang digunakan memiliki desain yang lebih rumit dan orang-orang mulai meniru tachibina (boneka berdiri) sang putri. Tradisi pemasangan boneka hingga saat ini masih dilakukan dan biasanya berlangsung selama 1 bulan, pemasangan biasa dimulai dari bulan Februari hingga tanggal 3 Maret, dan jika telat mencopot boneka dipercaya dapat mempengaruhi kehidupan pernikahan anak perempuan.
Pemasangan boneka ini tidak bisa dilakukan secara sembarangan, terdapat beberapa aturan dalam penempatan boneka. Pemajangan boneka ini menggunakan sebuah altar dengan tujuh tingkat yang disebut Hinadan, dan satu set boneka berjumlah 15 yang disebut Hinakazari. Penyusunan ini dibagi menjadi 5-7 tingkatan, dimulai dari dairi-bina (kaisar dan permaisuri), sannin kanjo (tiga pelayan wanita), gonin bayashi (lima musisi istana), zuishi (dua menteri istana), dan jicho (tiga pelayan istana). Jika tingkatan yang digunakan sampai 7 tingkatan, biasanya pada tingkat 6 dan 7 dipasangkan barang yang khas pada periode zaman Edo. Pada altar yang dimiliki Kyoto, biasanya tingkat 6 dan 7 dipasangkan furnitur rumah tangga, sedangkan altar di Tokyo memiliki tingkatan lebih banyak dan dipasangkan dengan barang yang mewah.
Pada festival Hinamatsuri, biasanya setiap kuil dan tempat wisata memasang boneka di setiap anak tangga. Salah satunya adalah tempat wisata terkenal di Tokyo, "Tangga Seratus Langkah" di gedung Meguro Gajoen yang tertutup oleh boneka selama periode Hinamatsuri. Tidak hanya melakukan tradisi pemasangan boneka, festival Hinamatsuri juga dikenal dengan berbagai macam makanan tradisional yang dapat dinikmati bersama keluarga. Makanan khas yang biasa disajikan antara lain, Hina-arare (biskuit manis berwarna pastel), Chirahsi-zushi (sushi dengan sedikit pemanis), Hishi-mochi (kue beras berbentuk belah ketupat), dan Amazake(sake non-alkohol).
Akhirnya kita telah sampai di bagian akhir artikel ini. Semoga artikel ini dapat menambah pengetahuan minna-san tentang budaya Jepang. Sampai jumpa di artikel berikutnya!
Author : Rika
Editor : Nao