Review ini bersifat subjektif dan terdapat sedikit spoiler

Setelah pada Japan Film Festival 2017 kemarin diumumkan, akhirnya film Laut – The Man From the Sea garapan sutradara Koji Fukada tayang di Indonesia pada Pekan Sinema Jepang 2018. Sebelumnya film ini sudah ditayangkan terlebih dahulu di Korea Selatan dan Taiwan.

Pada konferensi pers Pekan Sinema Jepang 2018, Dean Fujioka selaku pemeran utama memberikan pesan kepada para penonton. “Saya merasa sangat senang film ini ditayangkan di Indonesia, yang juga merupakan lokasi syuting setelah ditayangkan di Korea Selatan dan Taiwan. Melalui film ini saya berharap banyak orang di Indonesia dapat mengenali saya sebagai aktor. Semoga rekan-rekan sekalian dapat merasakan potensi baru dari sebuah film dengan melihat The Man From the Sea yang mengangkat tema alam untuk semua orang di bumi, tanpa memandang negara, suku atau agama.”

Koji Fukada selaku sutradara juga memberikan pesan, “Setelah pertama kali mengunjungi Aceh pada tahun 2011, saya langsung berpikir untuk membuat film ini. Tujuh tahun kemudian dengan dukungan teman-teman di Jepang, Indonesia dan Prancis, film ini akhirnya jadi dan hari ini berkesempatan untuk ditayangkan. Semua ini adalah sebuah keajaiban. Saya mengucapkan terima kasih kepada semua orang yang mendukung dan melihat karya ini.”

Seorang pria misterius ditemukan di pantai di Banda Aceh, Indonesia. Takako adalah warga negara Jepang yang bekerja di Indonesia dalam misi pemulihan bencana. Bersama dengan putranya Takashi dan sepupunya Sachiko, mereka menolong pria misterius tersebut. Mereka memberinya nama Laut. Teman sekelas Takashi, Kris dan temannya, Ilma, bergabung dengan Takashi dan Sachiko, dan keempatnya membentuk persahabatan. Sementara itu, Laut mulai melakukan keajaiban yang menghasilkan beberapa insiden.

Film kolaborasi Indonesia, Prancis dan Jepang ini mengambil latar di Banda Aceh setelah kejadian Tsunami pada tahun 2004. Film ini langsung terlihat ingin menonjolkan latar tempat ketika di mulai dengan pengambilan gambar yang berfokus pada pantai. Setelah itu terbukti memang film ini memiliki sinematografi yang baik, bahkan memanjakan mata. Sepanjang film kita bisa melihat keindahan alam yang ada di Banda Aceh ditampilkan melalui layar.

Film ini bercerita tentang Laut (Dean Fujioka) yang ditemukan terdampar di pinggir pantai, lalu ditolong oleh keluarga orang Jepang yang sedang menetap di daerah tersebut. Pada kesempatan yang sama, Ilma (Sekar Sari) dan Kris (Adipati Dolken) sedang melakukan wawancara di rumah keluarga orang Jepang tersebut. Penasaran dengan Laut, Kris dan Ilma membantu untuk menolong Laut. Hingga titik ini, saya merasa film ini akan menjadi film drama percintaan/pertemanan biasa. Namun sepertinya saya harus menambahkan fantasi pada tema film ini karena hal-hal yang dilakukan Laut. Dimulai dari tiba-tiba Laut bisa berbicara dalam berbagai bahasa, menyembuhkan orang sakit, berjalan di atas air, bahkan mengendalikan air seperti karakter Katara dalam film Avatar the Legend of Aang. 

Selain keajaiban-keajaiban yang dibuat Laut dalam ceritanya, aspek yang menarik dari film ini adalah keragaman budayanya. Ada empat bahasa yang digunakan dalam film ini yaitu Inggris, Indonesia, Jepang, dan bahasa daerah Aceh. Keragaman sepertinya menjadi salah satu hal yang ingin ditonjolkan oleh Koji Fukada. Hubungan antara manusia dan bukan manusia, kisah cinta beda agama dan ras. Sayangnya, kisah cinta yang diceritakan pada film ini malah membuat cerita tentang Laut itu sendiri jadi tidak begitu ditonjolkan. Namun Koji Fukada seperti ingin menceritakan bahwa walaupun banyak perbedaan bahkan hingga tahap hubungan antara manusia dan bukan manusia, kita tetap harus saling bersama dan menghargai.

Sama seperti film Koji Fukada sebelumnya yaitu Harmonium, dia sepertinya ingin membiarkan para penonton bertanya-tanya sendiri mengenai beberapa hal. Seperti tokoh Ayah Ilma yang tiba-tiba muncul di tengah cerita, lalu tidak pernah muncul lagi bagai avatar. Itu hanya salah satu contoh, saya tidak akan menyebutkan semuanya karena akan membocorkan cerita.

Jika ingin diibaratkan, film ini seperti suguhan full course dinner yang chef-nya lupa mengatur porsi makanan. Ketika baru di mulai, si chef memberikan makanan pembuka yang terlalu banyak porsinya sehingga tamu keburu kenyang sebelum dinner berakhir. The Man From the Sea juga begitu, dari awal film, penonton disuguhkan dengan masalah-masalah dari semua tokoh, dan mereka ingin menyelesaikannya. Namun karena terlalu banyak masalah yang disuguhkan, hingga akhir film, tidak semua masalah berhasil diselesaikan dan membuat penonton bertanya.

Tidak banyak yang bisa diceritakan dari film ini, karena film ini memang mengandalkan visual yang indah, jadi bagi kalian yang penasaran bisa langsung tonton saja film ini. Film ini cocok ditonton bagi yang ingin melihat keindahan Banda Aceh dan indahnya perbedaan.

Sekian review film The Man From the Sea, terima kasih kepada Pekan Sinema Jepang 2018 yang sudah memberikan kesempatan untuk mengulas film ini, sampai jumpa di ulasan-ulasan film lainnya.

Artikel ini dibuat oleh ponyonyon